Friday, August 8, 2014

Six things I want to do during my pregnancy (in the future)


               Beberapa minggu ini saya lagi mengikuti drama Fated to Love You (FtLY) versi Korea. Lima tahun lalu saya menonton drama dengan judul yang sama tapi produksi Taiwan. Sebenarnya FtLY versi Korea ini sendiri merupakan remake dari drama Taiwan tersebut. Tapi rasanya beda loh pengalaman emosional yang saya rasakan ketika menonton FtLY enam tahun lalu dan FtLY sekarang. Mungkin karena sudah menikah, rasanya lebih related sama daily life saya. Nah, drama ini menginspirasi saya untuk membuat daftar yang ingin saya lakukan selama masa kehamilan saya nanti. Beberapa hal yang saya ingin lakukan setelah terinspirasi teman-teman di Whatsap group To Be Wonderful Wife (2bWoW). Berikut kira-kita daftar yang ingin saya lakukan.
  1. Mulai masa kehamilan, saya ingin mengahapal Al Qur'an. *agak kurang ambisius yah, nunggu hamil dulu baru mau ngehapal* *blush* Mohon doanya ya reader, supaya saya dimudahkan untuk bisa memulai lebih awal. Saya kepengen anak kami nanti hafal Al Qur'an. (Inspirasi dari 2bWoW)   
  2. Saya ingin bikin dairy baby, mengabadikan momen-momen penting tentang janin selama masa kehamilan, seperti yang dilakukan Kim Mi Young di FtLY. 
  3. Saya juga ingin menjahit sendiri baju pertama yang akan si baby pakai ketika keluar dari rumah sakit. 
  4. Belajar membuat makanan baby. 
  5. Bersama husband, menulis surat untuk si baby sebelum si baby lahir. 
  6. Kalau ada rejeki, ingin ikut prenatal class juga, biar terarah persiapan lahirannya. 

Nah, saya belum hamil nih, untuk sementara itu dulu beberapa hal yang terpikirkan pengen saya lakukan ketika hamil. Semoga bisa kesampaian niatnya. Amiiin.

Saturday, July 26, 2014

Apa rasanya lebaran di rantauan? (PART 1)


Tahun ini akan jadi ke empat kalinya saya lebaran di rantauan (InsyaAllah jika sampai umur saya hingga lebaran.. Amiin).

Meriahnya lebaran dengan balon-balon 
Saya, Sidrah, dan Galih
Lebaran pertama di rantau adalah di tahun 2008 ketika saya sedang academic exchange di Amerika Serikat. It was really tough back then. Saya tidak pernah lebaran jauh dari rumah sebelumnya. Saya masih ingat waktu itu saya, Galih dan Sidrah bangun pagi sekali untuk berangkat sholat Ied. Di luar masih sangat sepi dan berkabut ketika kami beranjak dari apartemen. Dunia luar nampak sama, tidak ada yang spesial, lengang di pagi hari, tidak ada yang "khas" seperti suasana lebaran di Indonesia. Suasana lebaran sendiri baru terasa ketika ketika kami mendekati Carson city center, tempat pelaksanaan sholat Ied. Rasanya haru sekali melihat brothers dan sisters yang sudah ramai berkumpul. Lokasi sholat pun di dekorasi dengan banyak balon, unik dan membuat suasana Ramadhan ceria. Saya sendiri bersyukur sekali bisa menjalani lebaran kala itu dengan Sidrah, Galih, dan Hamzah, sebentuk keluarga baru di tengah perjuangan menuntut ilmu di Amerika. Lalu apakah lebaran di Amerika jadi hari libur? Tidak untuk California, lebaran kebetulan bertepatan dengan weekday, tidak ada libur. Saya ingat sekali sepulang dari KJRI Los Angeles, saya masih harus ujian tengah semester. Jadi bisa dibilang libur lebaran a la Indonesia sangat mewah, seminggu menjelang lebaran dan seminggu pasca lebaran. Saya juga ingat hari itu saya tergugu menangis menelpon mama, dan sempat panik karena laptop saya tidak bisa tersambung dengan wifi di apartemen. Dramatis banget pokoknya.




Semua anggota keluarga gotong royong bikin buras 
Lebaran kedua saya di rantauan adalah ketika saya bertugas di Kab. Paser sebagai Pengajar Muda di tahun 2012. Kala itu saya bertugas di sebuah desa yg bernama Suliliran, lebih dikenal dengan nama Blebak. Lebaran kali ini tentunya dengan kemewahan libur a la Indonesia. Jadi saya punya banyak waktu untuk menghayati persiapan lebaran. Saya ingat betapa menariknya terlibat dalam mempersiapkan menu penganan lebaran khas bugis yaitu Buras. (FYI Paser merupakan daerah yang multikultural, khususnya desa tempat saya bertugas yg merupakan desa dengan komposisi dari berbagai suku antara lain Paser, Bugis, Sunda, dan Jawa). Saya sendiri tinggal dengan hostfam yang merupakan kombinasi Paser-Bugis.


Ikatan Buras Simpul Pita a la Rini :D
Nah kembali ke Buras, semua anggota keluarga terlibat dalam pembuatan buras ini karena cukup rigorous. Jadi, kakek, nenek, bibi, ibu, dan bapak semua sibuk sekali di dapur. Saya pun tak mau ketinggalan. :D Nah Buras ini merupakan ketan yg pertama-tama dimasak setengah matang, lalu di bungkus daun, diikat dengan erat, kemudian direbus. Saya agak kesulitan untuk mengikat buras. Awalnya saya mengikat buras dengan simpul pita yang manis. Hal ini membuat kakek tersenyum dan menjelaskan bahwa Buras harus diikat dengan keras agar tidak hancur ketika direbus. :D Oops. But, it was really fun! I was really engaged and was so happy that I learn how to make Buras. Buras ini nantinya di makan dengan ayam bumbu merah, yg maknyuuus.. Aaah, saya lagi pengen makan buras dengan ayam bumbu merah nih..

Buras yang siap direbus

Buras dengan Ayam Bumbu Merah dan Abon Ikan siap disantap
Selanjutnya, malam takbiran cukup bising karena murid-murid saya sibuk sekali menyalakan petasan.. Suara petasan bersahut-sahutan dengan lantunan takbir dari mesjid. Saya mulai dihinggapi perasaan galau ketika mendapat SMS dari kembaran yang bilang di rumah sepi sekali, hanya dia dan papa. Seketika saya langsung mellow, merasa bersalah telah memutuskan untuk tidak mudik. :'( Terbayang wajah sendu papa saya yang selalu menyimpan perasaannya dalam diam. Man, I cried a river at that time. Kirain yah, karena ini lebaran kedua di rantauan, saya tidak akan sentimentil begitu, eeh ternyata pecah juga pertahanan saya.
Saya menyantap nasi kuning, salah kuliner yang disajikan

Saya dan murid-murid ketika berkunjung ke rumah warga
Bagaimana lebaran besoknya? Alhamdulillah berkesan sekali. Saya dan murid-murid berkunjung ke nyaris hampir tiap rumah di desa, di tiap rumah setidaknya makan satu mangkok soto banjar, atau gado-gado, atau buras. Luar biasa perut saya rasanya mau meledak setelah mendatangi rumah ke empat. :D hehehehe.

Oh ya, di hari kedua lebaran di Paser, ada event yang cukup populer di Pasar Tradisional Paser Belengkong. Warga dari berbagai desa dan Tanah Grogot mengunjungi Pasar Tradisional untuk wisata kuliner atau sekedar menikmati pertunjukan seni tari di Museum Paser Belengkong.



Tari-tarian yang dipertunjukkan di Museum Paser Belengkong




Narsis bersama para penari yang cantik :D

Saturday, July 12, 2014

Living in New Zealand : Penduduk dan Rumah

Sudah lama saya ingin posting tentang hidup disini. Baiklah, let's give it a try.

Ini tahun kedua saya tinggal di New Zealand. Saya tinggal di Hamilton, sebuah kota dengan penduduk sekitar 209.300 jiwa (2012), kira-kira 238.7 jiwa per km2. Dari kepadatan penduduk, Hamilton tentunya berbeda dengan kota Palembang yang berpenduduk 1,7 juta jiwa dengan kepadatan 4.800 jiwa per km2. Hamilton juga berbeda dengan kota Los Angeles yang berpenduduk kurang lebih sekitar 3,9 juta dengan kepadatan 3.176 km2. Boleh dikatakan, Hamilton tergolong kota yang sepi jika dibandingkan dengan Palembang dan Los Angeles. Jadi, cultural shock saya yang pertama adalah sepi ini. Jarang sekali melihat orang di jalanan, sepiii.. krik..krik..krik. :D Tapi wajar sih sebenarnya terasa sangat sepi, karena waktu pertama kali saya datang ke Hamilton itu masih libur musim panas, area kampus cukup sepi tentunya karena mahasiswa pada mudik. Selain itu, toko-toko (convenient stores) sudah tutup pada jam 5 sore, setelah pukul 5 daerah tempat tinggal saya makin sepi. 

Nah, ini rumah yang saya tempati di tahun pertama saya di Hamilton
Tahun kedua ini saya tinggal bersama dengan landlord dan dua orang flatmates. Rumahnya tetap multicultural karena kami berasal dari 3 negara yang berbeda walau sama-sama Asian country. 
Current flat


Nah, jadi di tahun pertama saya tinggal di resident hall yang di kelola oleh universityas, namanya Orchard Park Resident Hall. Saya tinggal di Cottage 16 dengan 3 orang lainnya dari Malaysia, Tonga, dan Afghanistan pada semester A, dan pada semester B, teman dari Tonga dan Malaysia digantikan oleh teman dari Swedia dan Mexico. Rumahnya jadi sangat multicultural, 4 gadis dari 3 benua :D.

Rumah kedua ini juga tidak terlalu jauh dari kampus, dengan sewa rumah yang sedikit lebih murah ketimbang ketika di Orchard Park. Saya merasa sangat nyaman dengan rumah ini. Landlordnya sangat baik, dan sewa rumah sudah include internet dan listrik. Kuota internet yang cukup besar membuat saya betah di rumah dan sangat mendukung komunikasi dengan keluarga yang jauh di Indonesia dan Amerika. Oh ya, sewa rumah di NZ harus dibayar per minggu. Karena ini juga, sewa kamar atau rumah disini terasa lebih mahal ketimbang dulu waktu saya tinggal di Amerika.

Walau awalnya saya sempat menggerutu karena sepinya Hamilton di bulan-bulan awal kedatangan saya ke New Zealand, sekarang saya benar-benar menikmati tinggal di Hamilton yang tenang. Benar kata beberapa teman, Hamilton kota yang kondusif untuk belajar. :D Tidak terlalu banyak distraction, tidak bising, biaya hidup dan sewa rumah relatif lebih murah ketimbang di Auckland, udara yang bersih, tidak ada macet, kotanya tidak terlalu luas sehingga beberapa tempat relatif bisa dijangkau dengan bersepeda dan tidak sulit untuk mengingat nama jalan dan lokasi beberapa tempat di kota, tidak akan tersesat di kota ini :D. 


I'm BACK!

Wow, it's been a while since the last time I posted a blog here, nearly 18 months already I bet.
I just want to recap some moments that highlights the past-18-month.

My modest 24th birthday celebration

Mom and Dad
Eid in Hamilton
Ipoo and I keep in touch through skype 
  • 22 February 2013, I celebrated my 24th birthday in New Zealand, while my twin sister celebrated hers in the US. This was the second year of my being older than my twin sister for several hours. 
  • 12 May 2013 was my mom's 61st birthday, a mellow day, crying a lot when my twin sister and I shared our memories about mommy. 
  • 23 May 2013 was my dad's 64th birthday. If I'm not mistaken, I called my dad on that day, but my dad was busy as usual, so it was a short talk only.
  • 10 August 2013, I celebrated Eidul Fitr in Hamilton. It was busiest Eid ever in my life. After Eid prayer, I was rushing up going back to my class to do my presentation. After the class, my friends and I visited several houses and got to eat nice Indonesian foods. :D And then I went to work at nite. Working and doing presentation was the thing that would never happen in Eid day celebration in Indonesia. Well, I call this as the busiest Eid ever in my live. 
  • 11 August 2013, was my boyfriend's birthday (he is now my husband :D). I hardly able to contact him on that day. He was busy visiting his family. 
  • November 1, 2013, I finished my first year at University of Waikato
  • November 10, 2013, my boyfriend formally proposed to marry me. :D
  • November 28 - December 5, 2013, my twin sister and I started a leadership program that we initiated in Ambon, Indonesia. 
  • December 27, 2013, I got married to Arif Zuhdi. 
  • December 28, 2013, we had our wedding reception at my hometown. 
  • January 5, 2014, we had our wedding reception at my husband's hometown.
  • January 7, 2014, my husband and I had our honeymoon to Singapore and KL. 
  • January 30, 2014, I was heading back to NZ to continue my study, while my husband got back to work in Kalimantan. 
  • February 14, we started planning my husband's visit to NZ. 
  • Februrary 22, 2014, I celebrated my 25th birthday without my husband. I decided to start wearing hijab on this date. Bismillah, may Allah help me to be consistent with my hijab outfits. 
  • March 5, 2014, my second year at Waikato University started off, and the busy life began. In semester A, I got four papers, exceeding 15 points. The assignments had been driving me so busy, I hardly able to hang out with friends on weekends because of the assignments. Alhamdulillah, the semester ended by the end of June 2014. I got three weeks holiday. I was pretty much staying at home, really enjoying such rare moments of relaxing myself. 
  • June and July 2014, it was the second time for me to vote while I'm abroad. Not as much I could say there was no TPS, no purple ink, no selfie with my husband after voting. I voted in my bedroom, the vote letter was sent to my house. 
  • This monday, the semester B is ready to kick off. I feel like writing some posts during my holiday, but I was too occupied with several Korean dramas. Hopefully, I'll be able to write a bit more about those events later. 



Tentang Pak Purhendi



Pak Purhendi, guru paling inspiratif di dunia, adalah guru Bahasa Indonesia dan Kesenian-ku di SMA. Awalnya aku tidak begitu mengenal beliau karena memang beliau mengajar kelas III, sementara aku baru duduk di kelas 1.


Beliau baru saja pindah ke sekolah kami dan suka membimbing para kakak kenal untuk lomba. Suatu pagi di apel pagi, beliau memanggil beberapa nama untuk menemui beliau ke perpustakaan. Salah satu nama tersebut adalah “Rini”. Aku kurang pasti apakah “Rini” yang dimaksud adalah aku atau bukan, karena ada empat “Rini” di sekolah kami.


Dengan sedikit memberanikan diri, aku menuju ke perpustakaan. Panggilan ke perpustakaan oleh Pak Purhendi merupakan sebuah kehormatan besar di sekolah kami. Panggilan itu artinya bahwa nama-nama yang dipanggil akan dipersiapkan untuk mengikuti sebuah lomba. Aku pun bergabung dengan rombongan yang dipanggil, rata-rata siswa kelas II dan kelas III. Dan ups, ternyata Rini yang dimaksud adalah Rini Afrita, murid kelas II. Malunya aku! Tapi alhamdulillah, Pak Purhendi menerimaku untuk bergabung dalam rombongan bimbingan. Kelak baru kusadari ini adalah sebuah awalan dari perubahan hidupku.


Singkat cerita, aku tidak menang untuk lomba tersebut, namun kakak kelasku berhasil finalis dan ke Jakarta. Ini juga sebuah hal yang besar bagiku. Berangkat ke Ibu Kota untuk sebuah lomba. Setelah itu pun aku selalu bersemangat untuk mengikuti perlombaan apa pun yang diinformasikan oleh Pak Purhendi, dan tentu dengan bimbingannya juga.


Pak Purhendi adalah seorang guru yang teliti dan sabar dalam membimbing. Berkat bimbingan beliau, aku akhirnya bisa berangkat ke Jakarta sebagai finalis sebuah lomba tingkat nasional dan bahkan menjadi juara II, ketika aku duduk di kelas II.


Sejak itu lah aku makin tekun membaca berbagai buku dan majalah sastra, dan bercita-cita untuk menjadi satrawan. Ya, guruku ini tidak hanya mengajar di sekolah, tapi juga aktif membimbing Klub Sastra di sekolah kami tercinta.


Pak Purhendi sangat berbeda dengan kebanyakan guru di sekolah kami. Jika para guru ditakuti oleh para murid, Pak Purhendi malah disegani dengan kharisma dan passion terhadap pengembangan kemampuan menulis siswa.


Sayangnya, Pak Purhendi pindah ke sekolah lain ketika aku naik ke kelas III. Walau begitu sebisa mungkin aku menghubunginya melalui sms atau pun telepon untuk sekedar berkabar. Waktu pun terus berjalan, hingga aku lulus SMA dan kuliah. Terakhir kali bertemu beliau ketika mewawancarai beliau untuk buletin BEM Fakultas.


Ada satu hal penting yang paling kuingat dari Pak Purhendi. Beliau mengajarkan untuk selalu berjuang dan tidak menyia-nyiakan peluang. Ketika mengikuti lomba, kami diajarkan untuk melakukan sebaik mungkin, untuk mencoba, untuk tidak menyerah sebelum bertanding. Hal ini yang selalu saya ingat dalam hati saya. Hal ini yang terus mendorong saya untuk mencoba tiap peluang beasiswa ke luar negeri. Dua kali saya gagal mendapatkan beasiswa ke Jepang, namun saya bangkit dan berjuang lagi mengejar beasiswa ke Amerika Serikat. Alhamdulillah, saya berhasil meraih peluang ini.


Ketika mendapat kabar gembira bahwa aku lulus beasiswa Global Undergraduate Exchange Program ke Amerika Serikat senang sekali rasanya bisa mengabarkan hal gembira tersebut kepada Pak Purhendi. Sayang sekali tidak sempat bertemu beliau sebelum berangkat ke Amerika.


Sudah bertahun-tahun rasanya tidak bertemu beliau. Namun begitu, saya selalu bisa mengingat senyum khas beliau yang sangat ramah. Saya pun dengan bangga bercerita bahwa saya akan meneruskan perjuangan beliau untuk mengembangkan bakat menulis anak-anak didik saya. Ya, saya ingin seperti Pak Purhendi yang dengan teladan membimbing anak didiknya untuk meraih mimpi mereka.




Blebak, Agustus 2012