Pak Purhendi, guru paling inspiratif di dunia, adalah guru Bahasa Indonesia dan Kesenian-ku di SMA. Awalnya aku tidak begitu mengenal beliau karena memang beliau mengajar kelas III, sementara aku baru duduk di kelas 1.
Beliau baru saja pindah ke sekolah kami dan suka membimbing para kakak kenal untuk lomba. Suatu pagi di apel pagi, beliau memanggil beberapa nama untuk menemui beliau ke perpustakaan. Salah satu nama tersebut adalah “Rini”. Aku kurang pasti apakah “Rini” yang dimaksud adalah aku atau bukan, karena ada empat “Rini” di sekolah kami.
Dengan sedikit memberanikan diri, aku menuju ke perpustakaan. Panggilan ke perpustakaan oleh Pak Purhendi merupakan sebuah kehormatan besar di sekolah kami. Panggilan itu artinya bahwa nama-nama yang dipanggil akan dipersiapkan untuk mengikuti sebuah lomba. Aku pun bergabung dengan rombongan yang dipanggil, rata-rata siswa kelas II dan kelas III. Dan ups, ternyata Rini yang dimaksud adalah Rini Afrita, murid kelas II. Malunya aku! Tapi alhamdulillah, Pak Purhendi menerimaku untuk bergabung dalam rombongan bimbingan. Kelak baru kusadari ini adalah sebuah awalan dari perubahan hidupku.
Singkat cerita, aku tidak menang untuk lomba tersebut, namun kakak kelasku berhasil finalis dan ke Jakarta. Ini juga sebuah hal yang besar bagiku. Berangkat ke Ibu Kota untuk sebuah lomba. Setelah itu pun aku selalu bersemangat untuk mengikuti perlombaan apa pun yang diinformasikan oleh Pak Purhendi, dan tentu dengan bimbingannya juga.
Pak Purhendi adalah seorang guru yang teliti dan sabar dalam membimbing. Berkat bimbingan beliau, aku akhirnya bisa berangkat ke Jakarta sebagai finalis sebuah lomba tingkat nasional dan bahkan menjadi juara II, ketika aku duduk di kelas II.
Sejak itu lah aku makin tekun membaca berbagai buku dan majalah sastra, dan bercita-cita untuk menjadi satrawan. Ya, guruku ini tidak hanya mengajar di sekolah, tapi juga aktif membimbing Klub Sastra di sekolah kami tercinta.
Pak Purhendi sangat berbeda dengan kebanyakan guru di sekolah kami. Jika para guru ditakuti oleh para murid, Pak Purhendi malah disegani dengan kharisma dan passion terhadap pengembangan kemampuan menulis siswa.
Sayangnya, Pak Purhendi pindah ke sekolah lain ketika aku naik ke kelas III. Walau begitu sebisa mungkin aku menghubunginya melalui sms atau pun telepon untuk sekedar berkabar. Waktu pun terus berjalan, hingga aku lulus SMA dan kuliah. Terakhir kali bertemu beliau ketika mewawancarai beliau untuk buletin BEM Fakultas.
Ada satu hal penting yang paling kuingat dari Pak Purhendi. Beliau mengajarkan untuk selalu berjuang dan tidak menyia-nyiakan peluang. Ketika mengikuti lomba, kami diajarkan untuk melakukan sebaik mungkin, untuk mencoba, untuk tidak menyerah sebelum bertanding. Hal ini yang selalu saya ingat dalam hati saya. Hal ini yang terus mendorong saya untuk mencoba tiap peluang beasiswa ke luar negeri. Dua kali saya gagal mendapatkan beasiswa ke Jepang, namun saya bangkit dan berjuang lagi mengejar beasiswa ke Amerika Serikat. Alhamdulillah, saya berhasil meraih peluang ini.
Ketika mendapat kabar gembira bahwa aku lulus beasiswa Global Undergraduate Exchange Program ke Amerika Serikat senang sekali rasanya bisa mengabarkan hal gembira tersebut kepada Pak Purhendi. Sayang sekali tidak sempat bertemu beliau sebelum berangkat ke Amerika.
Sudah bertahun-tahun rasanya tidak bertemu beliau. Namun begitu, saya selalu bisa mengingat senyum khas beliau yang sangat ramah. Saya pun dengan bangga bercerita bahwa saya akan meneruskan perjuangan beliau untuk mengembangkan bakat menulis anak-anak didik saya. Ya, saya ingin seperti Pak Purhendi yang dengan teladan membimbing anak didiknya untuk meraih mimpi mereka.
Blebak, Agustus 2012